Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan


 

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Saling Menghargai Sesama "SATU PROFESI WARTAWAN" Untuk Menjadi Yang Baik.

Sabtu, 30 Maret 2024 | 21.30.00 WIB | 0 Views Last Updated 2024-03-31T04:30:52Z

Sebaiknya kita selaku Insan Pers harus saling mengerti dan memahami tujuan dan tupoksi Wartawan.Gigih, ulet, rajin, sabar dan tekun sederet kata  penyerta di belakang kata: "berani", itu.


Sekalipun,  acap kali, keberanian diperoleh seorang wartawan saat dia melakukan hal yang dia takutkan. Keberanian, tetap prioritas utama seorang "Wartawan Sejati^ saat menjalankan misi pers paling mulya: Kontrol Sosial.


"Kerjakan hal yang Anda takutkan, keberanianmu akan tumbuh", motto yang sejak lama saya gelorakan untuk membakar semangat "Wartawan Muda".


Di Lembaga Pendidikan Wartawan  "membuang rasa takut" dipelajari  khusus dalam Mata Kuliah : Strategi Menembus Narasumber.


Bukti betapa keberanian itu sangat dibutuhkan profesionalisme dalam melakoni kinerja jurnalistik  yang terus berkembang.


Dewan Pers mengklaim (2020) jumlah Wartawan Indonesia saat ini sudah melewati angka 100 ribu. Jumlah media berita bertengger di angka 43 ribu.


Jika Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dinilai sebagai alat ukur skill jurnalisme yang valid, Indonesia baru memilki 13 ribu wartawan profesional.


Sisanya, sekitar 70 ribu lebih jurnalis amatir yang terus bersinergi dalam arus kompetisi perburuan informasi.


Semangat dedikasi para jurnalis amatir, terkadang melebihi para wartawan penyandang predikat kompeten. Heroisme itu kerap kali wujud keberanian eksklusif,  melampaui batasan etik.


Tetapi, Keberanian Wartawan, memang harus tetap bergelora paling tidak di dua situasi ini :


Kesatu, saat ditugasi meliput di area konflik. Kedua, saat meminta konfirmasi dari pihak terberitakan.


Kita fokus pada item "kedua" tentang permintaan konfirmasi, sebagai kewajiban memenuhi amanah Pasal 1 dan Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik Indonesia (KEJI). Yakni, "Azas Perimbangan" dalam.berita.


Artinya, secara etik, memenuhi permintaan konfirmasi syaratnya wajib. Mengabaikannya, berarti pelanggaran  terhadap KEJI.


Sebenarnya, kewenangan seorang wartawan melakukan permintaan konfirmasi bisa dijadikannya sebagai sarana berlatih.


Dari kewenangan ini, dia bisa berlatih menggunakan "senjata" dalam.perburuan informasi. 


Melatih kemampuan berkomunikasi, kemampuan mendeskripsikan narasumber, melatih menghadapi sikap narasumber yang beragam, melatih kesabaran serta meningkatkan hubungan sesama..


Pada aspek inilah permintaan konfirmasi secara langsung dinilai lebih pada kesempatan belajar bagi seorang wartawan.


Belajar yang mengharuskannya membuat persiapan yang memadai. Penampilan fisik yang prima serta kesantunan berkomunikasi sebagai  figur seorang wartawan profesional.


Di sisi lain, wartawan sebaiknya mengapresiasi kewenangan "meminta konfirmasi secara langsung" sebagai senjata paling "mematikan" bagi narasumber. Karena, pada kondisi ini, narasumber tidak (lagi) bisa menghindar.


Meminta konfirmasi secara langsung adalah "senjata" paling melumpuhkan. Sepanjang prosesi kinerja jurnalistik si Wartawan tetap tunduk pada koridor KEJI. 


Kode Etik sebagai "buku petunjuk" penggunaan "senjata" Wartawan, mengharuskan tata cara profesional dan terhormat di bawah "payung" Azas Praduga tak Bersalah.


Pada titik ini,  keberanian dan kesabaran seorang wartawan benar-benar diuji. Terlebih kala berhadapan dengan seorang narasumber yang sulit.


Bersabar seraya  mencari  Strategi Menembus Narasumber yang (sangat)  sulit itu. Tentu saja, situasi ini tidak mudah di tengah tenggat dead line yang membayang-bayangi.


Situasinya kian pelik. Masalahnya,  bagi sebagian narasumber yang sudah lebih dulu merasa bersalah atas prilakunya, biasanya akan berupaya maksimal menghindari wartawan. Inilah cara dia menutupi ketakutannya.


Menghadapi narasumber demikian, sebaiknya wartawan tetap sabar dan jangan terpancing. untuk terburu-buru menaikkan berita. 


Kerahkan dulu  kemampuan maksimal. Tekad kuat dan kesabaran pasti akhirnya membuahkan hasil.


Situasi "sulit" ini akan menghadirkan rintangan dan cobaan bagi wartawan. Tetapi, hanya situasi sulit yang membuat wartawan: kuat. Tumbuh menjadi wartawan hebat.


Lantas, bagaimana jika wartawan tidak bisa bertahan? Kemudian menempuh cara-cara instan lewat sarana  komunikasi elektronik ?


Kini, sebagian wartawan terbiasa melakukan konfirmasi dengan Android lewat sarana Media Sosial (Medsos). Mengirim pesan permintaan konfirmasi via WhatsApp (WA) sudah merupakan kelaziman.


Bagi produsen Android dominasi penggunaan Medsos ini bagai gayung bersambut. Bukankah Android & sejenis di produk untuk memanfaatkan laziness (kemalasan) publik ?


Tetapi, sebagian pihak menuding lebih pada minimnya keberanian karena kurangnya skill jurnalisme si Wartawan.


Yang pasti, tanpa meminta konfirmasi langsung kepada narasumber,  seorang wartawan akan kehilangan kesempatan menggunakan senjatanya yang paling melumpuhkan.


Dengan menggunakan jalur konfirmasi tak langsung, kekuatan senjatanya praktis melemah. Malah, bisa jadi bumerang,  bila mana narasumber memanfaatkan kealfaan itu.


Toh,  sepanjang terpenuhi Azas Perimbangan, yah.., Kode Etik memang memberi toleransi. 


Maksudnya, syah - syah saja wartawan meminta konfirmasi lewat Medsos atau Short Message Service (SMS) telepon genggam.


Tetapi, jika si Narasumber  tidak membalas (karena sesuatu hal) apakah berita yang ditulis itu memenuhi standar moral (etik) bagi nurani si Wartawan?


Setuju atau tidak, seperti disebut tadi, narasumber akan menjadikan ketidaksempurnaan permintaan konfirmasi ini sebagai dalih. 


Situasinya, malah bisa makin emosional. Masalah etik merembes ke titik celah pidana UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE). Delik Pencemaran "nama baik" dijadikan perisai oleh narasumber.


Situasi ini pula tampaknya, yang kerap menjadi "jalan masuk" bagi narasumber untuk meng- kriminalisasi wartawan.


Terlepas dari itu, saat ini,   pengaduan ke media Dewan Pers atas ketidakseimbangan berita yang ditulis wartawannya terus mengalami eskalasi.


Sebagai seorang awam,  saya lantas berhipotesis: inilah salah satu dampak menggantikan senjata wartawan dengan  teknologi: Android.


Ternyata,  tidak selamanya penggunaan produk kecanggihan perangkat komunikasi mampu memenuhi tuntutan moral jurnalisme. 


Meminta konfirmasi secara langsung, berikut perjuangan yang menyertainya, tetap dinilai sebagai senjata mematikan bagi seorang  Wartawan. 


Untuk itu,  terserah pada si Wartawan: Menggunakan senjata melumpuhkan dengan permintaan konfirmasi langsung atau memilih dilaporkan?


Hanya Wartawan Sejati yang berani menodongkan "senjata"-nya, dengan perkasa." 


Di tulis oleh tim©

×
Berita Terbaru Update